Aku melangkah ke arah balkon untuk memandang ke arah jalan. Kau masih belum
pulang. Aku mencibir dan kembali masuk ke dalam rumah. Aku
berinisiatif membuat secangkir kopi panas untuk mendinginkan tubuhku yang
menggigil. Padahal aku tidak memasang AC maupun pendingin ruangan lainnya, tapi
kenapa udara sekitar seperti menusuk ke dalam tulang? Aku kembali ke balkon
untuk menunggumu sembari menyesap kopi yang baru saja kubuat. 5 menit.. 10
menit.. 30 menit.. Namun, kau tak kunjung kembali. Perasaanku tidak enak, takut
terjadi sesuatu seperti yang dulu. Aku tidak mau kehilangan, tidak untuk kedua
kalinya. Aku mencoba menelponmu, tapi tak ada jawaban. Kemana kamu? Aku makin
panik, tidak bisa menyembunyikan kegelisahanku. Dalam hati aku berjanji, jikadalam
hitungan ke seratus kau tidak kembali, aku akan mencarimu. Entah dimana. Pasti
akan kucari sampai dapat.
Lima puluh satu.. lima puluh dua..
Aku terus menghitung dalam hati, aku yakin kau akan kembali.
Enam puluh delapan.. Enam puluh
Sembilan..
Kekhawatiranku tak terbendung. Entah sudah berapa kali aku mondar mandir
seperti orang bodoh.
Delapan puluh enam.. Delapan puluh
tujuh..
Aku masuk ke dalam rumah, mempersiapkan payungku. Kurang dari dua puluh
hitungan lagi, aku harus mencarimu. Padahal kau sudah berjanji untuk pulang
tepat waktu.
Sembilan puluh delapan.. Sembilan
puluh Sembilan..
Tubuhku membeku sesaat, Kurasakan seseorang memelukku dari belakang. Bajunya
yang basah kuyup mengenai bajuku. Aku berbalik dan melihat sosok yang
kurindukan. Dia hanya tersenyum lebar dengan polosnya. Seluruh tubuhnya basah
oleh guyuran hujan.
“Aku belum telat sampai hitungan ke seratus kan?” Ia
membelai lembut wajahku yang hampir menangis. Secara spontan, aku menghambur ke
pelukannya.Tidak ada yang aku butuhkan, cukup seperti ini. Cukup dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar